Menikah sebelum mapan akan mengajarkan anak makna perjuangan hidup...

Image source: www.tips-cewek.com

Menikah adalah sebuah keputusan penting dan biasanya hanya dilakukan oleh mereka yang memang sudah siap menjalin rumah tangga. Hal yang sangat mengagumkan adalah ketika ternyata banyak orang yang berani menikah di usia muda, yakni usia 19-24 tahun. Mengapa usia 25 tahun tidak termasuk usia muda? Karena menurut saya usia 25 tahun itu adalah usia wajar dan normal untuk menikah (maaf ya buat yang merasa usianya tua, hehe).

Meskipun saya belum pernah menikah, atau lebih tepatnya, belum bertemu jodoh, tapi saya ingin sharing ke teman-teman pembaca. Apa yang akan saya informasikan ini adalah hasil dari pengamatan saya pada peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Selain itu saya juga mendapatkan beberapa informasi dari teman dan keluarga saya. Beberapa orang mungkin merasa bahwa menikah adalah sebuah hal yang sangat sulit dilakukan. Memang benar...

Tapi yang akan saya bahas di sini adalah pilihan waktu yang tepat untuk menikah. Kita bisa sepakati sebelumnya bahwa tidak ada batasan waktu minimum dan maksimum untuk menikah. Oke?
Bahasan ini saya mulai dari adanya fenomena keluarga yang mengalami kesulitan secara ekonomi karena memang saat menikah, sepasang suami-istri ini belum mapan secara finansial. Ketidakmapanan memang tidak bisa dijadikan penghalang sepasang sejoli dalam berikrar suci untuk saling mendampingi sehidup semati menjalani kehidupan rumah tangga.

Image source: goodnewsfromindonesia.org


Namun setelah menikah mereka tentunya mengalami kesulitan dalam menjalani hidup mereka dalam keluarga. Untuk makan saja mereka harus berjibaku, pakaian pun tidak begitu banyak, hanya beberapa potong saja, apalagi rumah. Dengan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga (istri) dan buruh pabrik (suami), pasangan ini bisa bertahan hidup saja sudah begitu bersyukur, apalagi memiliki rumah pribadi. Singkat cerita, mereka hidup sebagai 'kontraktor' (tinggal di kontrakan dan sering bergonta-ganti rumah kontrakan karena tidak mampu membayar lunas kontrakan setelah jatuh tempo).

Pertanyaannya, mengapa mereka mau dan berani menikah saat hidup mereka masing-masing belum bisa dikatakan mapan? Mengapa mereka tidak menunggu dulu setidaknya sampai masing-masing memiliki pekerjaan yang mencukupi secara ekonomi? Apa yang membuat mereka berani menikah dalam kondisi serba kekurangan? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menggelayuti pikiran saya setelah melihat sepasang suami istri beserta anaknya mengendarai sepeda motor buntut yang berulang kali mogok di pinggir jalan raya sehingga sang bapak tampak kesulitan menstarter motornya.

Kehidupan rumah tangga seperti itu yang membuat saya mengelus dada. Yang saya rasakan bukan pada sang bapak dan ibu, namun pada anak mereka. Si anak nampak begitu kepanasan dengan peluh keringat mengalir di wajahnya. Dia pun begitu terlihat lelah ketika pada akhirnya membantu ayah ibunya mendorong sepeda motor itu menuju bengkel yang jaraknya cukup jauh dari tempat mogoknya sepeda motor. Setelah merenung sejenak, saya jadi teringat kata-kata om saya beberapa waktu sebelum 'peristiwa' sepeda motor buntut itu terjadi. Beliau dengan bijaksananya menasehati saya agar segera mendapatkan pasangan hidup.

Image source: pbs.twimg.com

Alasan di balik nasihat itu adalah saya tidak perlu menunggu untuk mapan dulu sebelum menikah. Karena hal yang paling penting adalah ketika nantinya memiliki anak dan anak tersebut dibesarkan dengan kondisi serba prihatin, maka bisa dipastikan dia akan tumbuh menjadi anak yang tangguh. Dia akan memahami makna dari perjuangan hidup. Mau ikut terpontang-panting dalam kesulitan hidup karena menjalani kehidupan penuh perjuangan bersama kedua orang tuanya. Dan benar saja kata om, kebanyakan orang sukses memang sejak usia masih belia, mereka ikut merasakan kesulitan hidup kedua orangtuanya. Sebuah nasihat yang tak akan pernah saya lupakan.

Renungan saya tentang nasihat om buyar seketika setelah melihat keceriaan keluarga kecil dengan motor buntut tadi menemukan bengkel. Harapan untuk segera bisa menaiki motor buntut itu terpancar begitu jelasnya di wajah mereka. Ah... sebuah kisah nyata yang cukup mengharukan bagi saya. Segera setelahnya saya beranjak dari tempat duduk yang disediakan tempat cucian mobil untuk melanjutkan perjalanan ke kota tujuan saya, Magelang.

Mari kita ambil pelajaran penting dari kisah ini... bahwa waktu yang paling tepat (baca: disarankan) untuk menikah adalah sebelum mapan secara finansial, agar anak yang mau tak mau dibesarkan dalam kondisi serba sulit bisa belajar arti perjuangan hidup. Tetapi ini kembali ke diri kita masing-masing, silakan memilih mau menikah sebelum atau setelah mapan. Yang terpenting jangan lupa pada konsekuensi yang akan datang menghampiri. Untuk yang belum menikah, saya doakan segera bersanding di pelaminan bersama sang pujaan hati... dan yang belum mendapatkan pujaan hati, semoga segera bertemu. Doakan juga buat saya ya... hehe.. terima kasih :)

Artikel Terkait

Belum ada tanggapan untuk "Menikah sebelum mapan akan mengajarkan anak makna perjuangan hidup..."

Posting Komentar